Yang paling menakutkan dalam era kebebasan pers adalah terjadinya polarisasi kekuatan berita di antara media masa Indonesia. Sudah umum terjadi banyak media masa yang berpihak ke kekuatan tertentu hanya karena korporasi pemilik media tersebut memiliki hubungan afliasi dengan golongan politik. Namun terlepas dari semua itu, kesalahan paling fatal yang dapat dilakukan oleh media adalah tidak adanya etika jurnalisme dalam proses peliputan, penulisan dan editing dari suatu hasil pengolahan berita di lapangan.
Apalagi dalam era digital ini dimana kecepatan penyajian sebuah berita lebih penting daripada akurasi berita itu sendiri. Siapa yang paling cepat menyajikan sebuah berita pasti akan memberikan nilai plus bagi kredibilitas media masa, masalah apakah berita itu ternyata kemudian tidak benar tidak menjadi masalah karena bisa di edit nantinya.
Kesalahan fatal itu baru saja dilakukan oleh portal berita viva.co.id pada hari Senin, 11 April 2016 ketika dua wartawan Viva yakni Bayu Adi Wicaksono dan Fajar Ginanjar Mukti meliput berita mengenai Sunny Tanuwidjaja di Balai Kota Pemprov DKI Jakarta. Duet wartawan ini menuliskan headline yang sangat provokatif, “Staf Khusus Ahok Akui Jadi Perantara Suap Reklamasi“. Sampai disini pasti belum ada yang aneh kan? Namun ketika saya masukan live tweet dari Retweet netizen diatas seperti dibawah ini pasti anda akan mendapatkan versi berita yang telah di-edit. Berikut, live tweet-nya
(Silahkan klik link-link URL Viva di tweet bawah ini)
RT "@VIVAcoid: Staf Khusus Ahok Akui Jadi Perantara Suap Reklamasi https://t.co/kHlMIUKTNQ @basuki_btp"
— Genetika Tunggal Ika (@AndiArief_AA) April 11, 2016
Nah ketika anda klik tautan live tweet diatas maka judul berita berubah menjadi “Staff Khusus Ahok Akui Pernah Kontak Sanusi“, versi lengkap dari berita di atas dapat dilihat disini.
Apa yang dapat kita analisa dari perbedaan judul diatas?
Telah terjadi kesalahan jurnalisme dalam proses peliputan berita Sunny Tanuwidjaja yang dilakukan oleh Viva.co.id melalui dua wartawannya. Kesalahan itu adalah adanya “penghakiman” terhadap nara sumber tanpa didasari investigasi jurnalisme lebih lanjut. Kalau kita baca isi berita tersebut secara lengkap maka anda tidak akan menemukan indikasi bahwa Sunny Tanuwidjaja “mengakui” menjadi pihak perantara suap Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Dari hasil wawancara tersebut Sunny memang mengaku pernah menghubungi M. Sanusi terkait Reklamasi Teluk Jakarta. Ini point pertama bahwa Sunny mengenal dan telah terjadi komunikasi dua arah antara Sunny dan M. Sanusi.
Kemudian di bagian lain dalam wawancara tersebut Sunny dengan tegas membantah bahwa komunikasi tersebut berkaitan dengan suap-menyuap antara M. Sanusi dan pihak pengembang Agung Sedayu seperti yang jelas ditulis oleh Viva,
Jelas telah terjadi penggiringan opini pembaca yang dilakukan wartawan media Viva.co.id dengan menuliskan headline bahwa seolah-olah Sunny Tanuwidjaja menjadi pihak perantara suap M. Sanusi padahal isi keseluruhan dari hasil wawancara diatas sama sekali tidak ada kata, kalimat atau paragraf tersurat maupun tersirat yang menyatakan bahwa Sunny menjadi perantara suap.
Jurnalisme macam apa yang sedang dilakukan oleh media Viva.co.id ini sehingga para wartawan atau redaksi mampu membuat kesimpulan seperti itu? Ketika sebuah media masa berani untuk menuliskan headline yang provokatif sudah seharusnya didukung oleh bukti dan fakta kuat yang berasal dari proses investigasi jurnalisme yang profesional bukan hanya dua wartawan datang ke Balaikota menemui Sunny, melakukan wawancara dan langsung menyimpulkan berita tersebut. Seperti yang telah saya uraikan diatas bahwa dalam era konvergensi berita digital sekarang, sebuah judul yang “heboh nan provokatif” dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi media yang berani melakukannya. Keuntungan tersebut semata-mata adalah ekonomi dimana akan semakin banyak pembaca yang tertarik membaca, share berita tersebut ke media sosial yang pada akhirnya membawa traffic pengunjung ke situs berita tersebut dan membuat situs tersebut bernilai dimata para pemasang iklan (ads). Sebuah praktik jurnalisme yang menyedihkan menurut saya.
Masalah ini tidak berhenti disini saja dan rupanya pihak manajemen redaksi Viva.co.id mengetahui telah terjadi kesalahan kode etik jurnalisme. Mereka bergerak cepat dengan mengganti judul headline yang lebih netral dan lebih sesuai dengan isi wawancara. Mungkin mereka merasa bahwa judul asli berita tersebut terlalu provokatif dan tendesius yang bisa menimbulkan fitnah kepada individu tertentu. Langkah penggantian judul ini memang lebih baik dilakukan daripada menghapus content berita itu sendiri karena tindakan penghapusan berita berarti media Viva.co.id mengakui kesalahan jurnalisme. Sederhananya mereka hanya mengetahui tanpa mengakui kesalahan.
Akibat dari kesalahan jurnalisme Viva.co.id ini sangatlah besar setidaknya bagi para netizen yang selama ini sangat mengandalkan informasi dari portal media online tanah air. Bisa dibayangkan sudah berapa ratus atau bahkan ribuan kali berita provokatif tersebut dibagikan/di-share oleh netizen via Facebook, Twitter, GooglePlus, email dan online lainnya. Berita ini kemudian dibaca dan dipahami dangkal oleh sebagian orang sebagai sebuah kebenaran dan justifikasi atas fitnah terhadap pihak-pihak tertentu dan tentu saja efek nya akan berantai.
Apakah portal berita besar sekelas Viva.co.id ingin bersanding dengan portal berita abal-abal lainnya yang selama ini sudah sangat dikenal sebagai portal berita penyebar kebencian dan fitnah? Tentu saja tidak menurut pemikiran logis saya. Walupun Viva.co.id dimiliki oleh induk perusahaan Bakrie namun tetap saja prinsip dan etika jurnalisme harus ditegakkan jangan hanya karena ingin menjadi “sensasi sesaat untuk mengeruk pundi-pundi rupiah” anda mengorbankan jutaan pembaca yang hanya ingin berita yang faktual dan proposional.
Kalau saya sih lebih ke hal mendasar.
Portal-portal berita online sprti Viva dan Detik terkadang jg memuat berita hoax, terutama yg berasal dari luar negeri.
Juga terkadang yg pualing nyebelin buat saya adl, mrka terkadang memecah artikel jadi 8-10 bagian. Biasanya berita yg memiliki angka nominal, sprti 10 fakta tentang Android dsb. Itu sama buang-buang waktu, krn pembaca dipaksa tidak membaca artikel scra utuh. Kalau dari PC sih masih bisa ditolerir, tapi jika dibaca via smartphone kan repot. Apalagi jika ada iklan yg langsung “melempar” pembaca ke playstore. Sangat mengganggu…
Kadang jg si penulis artikel yg ngambil dari portal luar negeri jg hny menyulih bahasa seadanya, mnggunakan google translate. Itu jg menyebalkan… Sprti baru belajar jadi jurnalis…